Kamis, 28 Januari 2016

Kakao, Komoditas Perkebunan Yang Bernilai Tinggi



Pohon kakao, merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Bayangkan saja, kakao yang merupakan bahan baku cokelat yang bisa dipanen setiap hari. Ya, Kakao berbuah sepanjang tahun tanpa mengenal musim. Dalam budidaya kakao tak perlu menunggu waktu lama untuk memanen buah cokelat dari pohonnya, proses pemanennya pun bisa dilakukan tiap hari jika sudah ada kakao yang tua atau siap panen.

Cokelat saat ini sudah hampir menjadi kebutuhan banyak orang. Setiap makanan dan minuman yang kita santap sehari-hari, sedikit banyak mengandung cokelat. Tak hanya makanan dan minuman, cokelat juga mulai merambah dunia farmasi dan kosmetik atau kecantikan. Karena inilah saya yakin prospek budidaya kakao ke depan bisa dibilang sangat cerah.” Ujar Wijianto, salah seorang petani kakao asal Desa Segulung, Dagangan Madiun kepada wartawirausaha.com. Kakao atau dalam nama latin Theobroma Cacao L, merupakan salah satu tumbuhan yang cocok dengan kultur tanah serta iklim yang ada di Indonesia. Karena inilah, budidaya kakao di berbagai daerah di Indonesia, termasuk wilayah Dagangan, tepatnya di kaki bukit pegunungan Wilis, mampu menjadi produk unggulan wirausaha agrobisnis masyarakat.

“Masyarakat di Segulung, biasanya memperdayakan tanah-tanah kebun yang berbukit-bukit, dengan menanami tanaman kakao serta cengkeh. Biasanya mereka menanam secara tumpang sari, menginggat lahan kurang bagus untuk tanaman padi. Uniknya, jika cengkeh hanya bisa dipanen sekali dalam setahun, atau bisa dinikmati hasilnya setelah satu tahun, maka pohon kakao ini bisa dipetik hampir tiap hari, jika pohon sudah mencapai umur 3 tahun ke atas.” Ungkap pria yang memiliki 1 hektar kebun budidaya kakao dan cengkeh ini.

Pohon kakao sangat bagus, jika dikembangkan bersamaan pohon tegakan atau pelindung. Menurut Wijiyanto, masyarakat desa Segulung biasanya membudidayakan kakao bersama pohon cengkeh. Pohon cengkeh yang tinggi dan besar, menjadi salah satu pohon tegakan yang ideal. Selain cengkeh, pohon naungan yang bisa digunakan antara lain pohon lamtoro, gleresidae, serta albasia. Wijianto menambahkan, pohon kakao sangat ideal dikembangkan di daerah perbukitan, dimana itensitas cahaya mataharinya tidak terlalau banyak. Jika matahari terlalu banyak, tanaman kakao akan mengecil, daun menyempit, sehingga tanaman relatif mengkerdil.
“Untuk memulai proses penanaman sebetulnya tidak sulit, pertama-tama yang perlu kita lakukan adalah membuat membersihkan alang-alang dan gulma. Setelah kebun bersih, baru membuat lubang dengan ukuran 60 x 60 x 60 cm untuk benih pohon kakao. Lubang ini kemudian ditimbun pupuk kompos dan kotoran sapi, lalu dibiarkan beberapa hari.” tambahnya.

Jika sudah, benih kakao yang sudah memiliki tinggi 1 – 1,5 meter dimasukkan ke dalam lubang. Agar, benih kakao tidak dirusak hewan liar, sebaiknya disekeliling lubang diberi pagar bamboo. Setelah selesai, tinggal perawatan dan pemupukan.

“Pemupukan dilakukan setelah umur pohon kakao 6 bulan. Pupuk yang biasa saya gunakan adalah organic dan juga urea. Pada usia 8 – 12 bulan, dilakukan pemangkasan cabang pohon kakao yang lemah. Pada umur 18 – 24 dilakukan kembali pemangkasan, dengan membuang tunas yang tidak diinginkan. Secara berkala dilakukan pembuangan cabang yang melintang serta rating yang menyebabkan tanaman terlalu rimbun dibuang. Pemangkasan dilakukan juga untuk mengurangi kelebatan daun pada tanaman kakao.” Ungkap Wijianto.

Pada usia 3 tahun, biasanya pohon kakao sudah berbuah lebat dan mulai bisa dipanen. Buah kakao yang bisa dipanen adalah buah yang sudah tua dan sudah mengalami perubahan kulit buah. Wijianto menyarankan, begitu buah sudah masak, bisa segera dipetik, karena jika terlalu masak kadar gula dalam buah menurun sehingga dalam proses fermentasi kurang begitu baik.

“Pohon kakao yang sudah berumur 3 tahun, biasanya akan berbuah terus menerus tanpa mengenal musim. Biasanya, kalau kami panen, kami kumpulkan dulu buah kakao ke tempat khusus. Lalu buah tersebut kita pisahkan atau kelompokkan sesuai dengan kelas kematangannya. Setelah itu, buah kakao di pecah dengan menggunakan balok kayu.” Ujar pria yang juga menjadi perangkat desa tersebut. Menurut Wijianto, dari pohon kakao, yang diambil hanyalah biji buah kakao saja. Biji tersebut, setelah diambil dari buah kemudian di peram atau difermentasi selama kurang lebih satu minggu. Wijianto menjelaskan, proses fermentasi hanyalah memasukkan biji buah kakao ke dalam kotak kayu tebal yang dilapisi oleh alumunium dan dibawahnya diberi lubang kecil untuk pembuangan lendir.

“Sebenarnya selain biji, dulu pernah ada sosialisasi pembuatan Nata de kakao dari lendir biji kakao dan pembuatan pakan untuk hewan peliharaan seperti kambing dan sapi dari kulit kakao yang kebanyakan dibuang. Namun, semua kurang maksimal, karena pemerintah sendiri kurang begitu serius dan konsisten dalam memberdayakan masyarakat petani kakao.” Ungkap Wijianto.

Untuk pemasaran biji-biji kakao yang sudah kering menurut Wijianto tidak ada kendala yang berarti. Bahkan, Wijianto yakin jika masa depan kakao atau cokelat ini sangat cerah jika dibanding cengkeh. Jika suatu saat cengkeh akan berkurang seiring pemerintah yang akan mengurangi kuota rokok, maka kakao justru akan naik, karena komoditas ini sangat penting.


“Harga biji kakao kering ke pengepul saat ini antara 20 – 25 ribu perkilogramnya. Saat ini sudah banyak pengepul yang datang untuk mengambil biji kakao kering dari petani. Bahkan, beberapa pengepul sudah berani memberikan uang sebagai panjer, meskipun barang atau biji kakao belum ada.” Ujarnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar