Rabu, 24 Februari 2016

CIPUTRA: Tularkan Entrepreneurship ke Mahasiswa Indonesia


Siang tadi sekitar pukul 10. 15 saya menghadiri undangan Bank Mandiri yang mengadakan sebuah kuliah umum, dengan saya sebagai salah satu ‘dosen’ yang diberi kesempatan untuk berbagi.  Ini merupakan sebuah undangan yang saya selalu nantikan. Saya mungkin tidak selalu mempunyai waktu untuk acara-acara lain seperti menghadiri undangan-undangan pesta, tetapi untuk undangan dengan tema entrepreneurship yang bertujuan menyebarkan semangat entrepreneurship ke banyak orang saya selalu luangkan waktu.

Dalam kesempatan tersebut saya hadir dan satu podium bersama dengan Executive Vice President dari Bank Mandiri, saudara Haryanto T. Budiman, Ph. D. Bank Mandiri adalah bank pemerintah di Indonesia yang juga tak segan berpartisipasi mengembangkan entrepreneurship. Dan saya sangat berterimakasih untuk itu karena dengan begitu cita-cita memakmurkan bangsa melalui entrepreneurship tidak melulu impian di siang bolong.

Yang hebat dalam acara kuliah umum via video conference ini adalah kemampuan kami yang sedang berada di Gedung Mendiknas untuk menjangkau sejumlah audiens yang umumnya para dosen dan mahasiswa di wilayah-wilayah Indonesia. Di antaranya yaitu ITS 10 November Surabaya, Universitas Trunojoyo, Universitas Pakuan, Djuanda di Bogor, Universitas Esa Unggul, STIE YKPN Jogjakarta, dan sebagainya. Begitu banyak yang bisa menyimak dan bertanya jawab sehingga saya merasa sangat antusias. Saya ingin semua anak muda kita di Indonesia merasakan antusiasme yang sama dengan yang saya rasakan!

Saya paparkan konsep BLUE yang saya baru temukan beberapa waktu lalu saat saya sedang berpikir dalam sebuah sesi mengajar entrepreneurship. Inilah mengapa saya suka dengan mengajar, menyebarkan entrepreneurship ke sebanyak mungkin orang. Karena dengan begitu, ide-ide cemerlang hampir selalu muncul setelah saya mengajarkan apa yang saya ketahui dan berbagi dengan mereka yang lebih muda. Inilah keajaiban berbagi. Anda tak akan kehabisan, bahkan selalu berkelimpahan meski terus menerus memberi.

Konsep BLUE ini yang diilhami dari blue ocean strategy ini, jika Anda belum mengetahui, adalah sebuah konsep yang bermakna luas:
B : Baru!
L : Lain!
U : Unik!
E: Eksklusif!

Saya simpulkan setelah beberapa lama bahwa 4 prinsip tersebut harus dimiliki sebuah perusahaan, baik baru seumur jagung atau sudah malang melintang di dunia bisnis, jika ia ingin terus maju dan berkembang.

Sebuah pertanyaan terlontar: “Mengapa entrepreneurship selalu identik dengan dunia bisnis, Pak Ci?” Saya jawab bahwa asumsi itu kurang benar. Entrepreneurship sebenarnya bisa diterapkan secara luas dalam aspek-aspek kehidupan kita. Saya dan Antonius Tanan mengemukakan dalam buku Quantum Leap 1 dan 2 bahwa mental entrepreneurship perlu dimiliki tidak hanya oleh kalangan bisnis (business), tetapi juga oleh kalangan birokrasinya (government), kelompok akademisinya (academician), dan di masyarakat luasnya (social). Teori ini dinamakan GABS.

Pertama-tama saya berusaha membakar semangat anak-anak muda di depan saya dengan mengemukakan bahwa bakat entrepreneurship itu bukan didapat secara genetik. Jadi jika Anda masih berpikir bahwa seseorang tidak bisa menjadi entrepreneur hanya karena orang tuanya bukan entrepreneur sukses, itu perlu diperbaiki. Bagi saya, seseorang siapapun dia bisa menjadi entrepreneur sukses bila memiliki ‘bakat’ dalam wujud 3 poin berikut ini: keinginan yang meluap-luap untuk berwirausaha, semangat yang tak kunjung padam, dan kepercayaan diri yang membuatnya tidak mudah terpuruk.


Beberapa pertanyaan menarik terlontar saat saya memberikan kesempatan bagi para mahasiswa cerdas tadi untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal di benak mereka tentang entrepreneurship.

Seorang mahasiswa dari Universitas Negeri Medan mengajukan pertanyaan mengenai bagaimana caranya mengimplementasikan kurikulum entrepreneurship di kampusnya. Dijawab oleh Antonius Tanan sebagai Presiden Universitas Ciputra Surabaya bahwa terdapat 3 tahapan dalam ber-entrepreneurship. Ada yang hanya “to know” (mengetahui), ada yang “to do” (berbisnis), dan ada yang sudah “to be” (mengalami). Di Universitas Ciputra, mahasiswa tak hanya diperkenalkan kepada entrepreneurship secara teoretis saja tetapi didorong untuk melakukan dan mengalaminya secara langsung. Mereka dilatih untuk merasa malu. Malu karena apa? Bukan karena tidak memiliki BlackBerry atau tidak memiliki mobil pribadi, tetapi mereka dilatih untuk malu jika belum memiliki usaha sendiri selama belajar di sana. Saya juga persilakan mahasiswa UCEC untuk meninggalkan kampus jika ia sudah bisa berdikari dengan bisnisnya. Namun, saat saya pernah menanyakan hal itu pada mereka, mereka menajawab tidak akan meninggalkan UCEC sebelum lulus meski sudah berbisnis sendiri karena mereka ingin terus belajar. Entrepreneur, jika ingin terus berjaya, memang tidak akan pernah meninggalkan gairah untuk belajar. Saat ia berhenti belajar, saat itulah ia juga berhenti menjadi entrepreneur karena entrepreneur perlu belajar terus agar bisa hasilkan inovasi-inovasi cemerlang. Khusus di hari Rabu, mahasiswa UCEC selalu berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil untuk belajar entrepreneurship.

Tentang bagaimana menerapkan kurikulum entrepreneurship dalam kampus, saya berikan contoh dalam Universitas Ciputra. Para pengajarnya harus mengetahui seluk beluk entrepreneurship. Dan itu saja belum cukup! Akan lebih lengkap lagi jika mahasiswa juga bisa menimba ilmu tidak hanya dari dosen-dosennya (akademisi) tetapi juga figur-figur yang berpengalaman dan menonjol dalam pemerintahan, bisnis dan kemasyarakatan. Dengan begitu mahasiswa bisa menyerap teori dan aplikasi entrepreneurship dari berbagai sudut di kehidupan nyata.

Selengkapnya: http://www.eciputra.com/berita-2070-ciputra-tularkan-entrepreneurship-ke-mahasiswa-indonesia-.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar